Kamis, 15 Maret 2012

'Maaf Ma'

istimewa

Kakiku mulai maju selangkah demi selangkah. Meski rasa gemetar mulai terasa diujung kedua kaki. Kira-kira hampir 200 centimeter lagi aku berada diujung bangunan hotel berlantai 10. Hembusan sejuk angin seolah mengajak aku terus maju. Sejuknya sedikit melindungi kulitku dari teriknya sengatan matahari. Imajinasiku sempat buyar disaat keramaian terdengar dari bawah gedung hotel.   

Semakin lama suara itu semakin terasa keras. Aku menatap kebawah dan melihat kerumunan orang-orang yang berada ditrotoar dan seberang jalan begitu asik melihat kearah ku. Ternyata disana ada beberapa teman dan kerabat dekat. Meski tidak terlihat jelas,  wajah-wajah mereka seperti memperlihatkan wajah cemas dan ketakutan. Seandainya mereka tau apa yang sudah aku rasakan.
         
      Sudah terlambat kawan..sudah terlambat. Bukankan apa yang aku lakukan saat ini adalah keinginan dari kalian semua ? Supaya aku bisa menghilang dari kehidupan kalian dengan segera. Supaya kalian puas..puas..!! Kalaupun aku menghilang, toh tidak ada yang perlu diributkan. Mungkin tidak seheboh berita perceraian para selebriti yang disiarkan berulang-ulang. Gossip murahan yang disiarkan dari pagi sampai sore…
         
Aku lebih drastis kawan.. ini semua berawal ketika kedua orang tua aku memutuskan untuk bercerai, ketika tau adik perempuanku telah hamil 3bulan dibalik seragam sekolah menengah pertamanya. Aku sudah curiga dengan ketua kelas yang mengantarkannya pulang setiap hari. Wajah polosnya ternyata kedok untuk memangsa adikku. Katanya sih cinta, tapi kalau sudah hamil malah kabur tidak jelas kemana. Belum lagi kakak laki-laki ku yang tertangkap mata oleh ayahku yang sedang jalan mesra disalah satu tempat perbelanjaan di Jakarta. Kakak ku bergandengan tangan dengan seorang pria bule setengah baya. Mama tidak pernah perduli dengan keadaan dirumah. Yang diurus hanyalah arisan dan arisan. Terkadang dirinya sering meeting  diluar kota sampai beberapa hari. Ayahpun sama saja. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Jika sedang bekerja, meski ada suara bom meledakpun dia tidak akan bergeser dari kursi dan laptopnya.
        
Dunia bagiku seolah kiamat. Meja makan dirumah hanyalah pelengkap ruangan dapur. Dari pada stress dirumah, aku lebih baik keluyuran. Kemana saja yang aku suka. Pulang kuliah aku tidak langsung pulang kerumah, aku justru memilih hotel sebagai tempat merenung. Ya..hanya untuk merenung. Sesekali aku melihat akun tweeter dari orang-orang stress ibu kota melalui hape Blackberry. Isinya tak jauh beda dengan ku, banyolan dan segala keluhan yang justru membuat aku sesak.
           
Dari atas gedung ini aku selalu berfikir, betapa sulitnya untuk berkomitmen. Tapi kalau aku pikir tidak juga. Berapa banyak orang didunia ini yang sudah hidup dalam komitmen. Mereka tentu menjalani hal yang sama, dan mereka tidak harus mengakhiri komitmen mereka. Bercerai adalah tindakan yang sangat egois dan tidak bisa diterima. Aku sering melihat nenek-nenek dan kakek-kakek berjalan bersama disebuah taman dipagi hari dengan terlihat gembira.
         
Akhirnya aku terpaksa mengambil langkah ini. Langkah yang sebetulnya tidak pernah terpikir oleh ku. Cukup dua langkah kedepan, dan matahari sudah mulai terlihat meredup didepan ku. Tiba-tiba suara pintu terhentak dengan keras. Polisi meminta ku untuk tidak melanjutkan langkah. Aroma fajar begitu kuat kurasakan, seolah aku memiliki sayap yang bisa mengepak untuk terbang jauh. Pergi jauh dari pandangan orang-orang dibawah yang menatapku tajam 100 persen…
              
Dan akupun terbangun, tiba-tiba aku mendengar suara yang memanggil namaku. Ini bukan disurga, dan semoga juga bukan neraka. Suara itu persis berasal dari sisiku. Suara lemah tetapi terdengar merdu. Suara yang kukenal sejak lama dan baru terdengar kembali saat ini. Itu adalah suara ibuku. Berdasarkan keterangan dokter, ternyata dia telah menemaniku selama tiga hari diruangan ICU. Senyum berusaha dia lepaskan. Senyumnya berlomba dengan tetesan air mata yang jatuh mengenai tanganku. Entah dosa apa yang telah aku perbuat. Sehingga begitu tega membuat ibu menangis. Padahal selama ini, aku selalu membuat dirinya bangga. Aku selalu menjadi juara kelas, sampai kuliahpun aku mampu membanggakan dirinya. Dengan fakultas kedokteran dengan rata-rata IPK diatas 3,5. Kali ini aku jatuh dimatanya..Ma-af kan aku.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar