Selasa, 13 Maret 2012

"..mana mungkin kamu bisa sukses.."


Ada sebuah kalimat, yang terkadang kalimat itu masih ku ingat sampai saat ini. Sebuah kalimat yang kata-katanya sungguh membuat hatiku luluh akan masa depanku. Kalimat itu berbunyi “..mana mungkin kamu bisa sukses ..!!!” Sebuah kalimat singkat, namun cukup membuat mental ku guncang. Yah..menyal seorang bocah yang baru meranjak usia remaja. Aku sendiri tidak menyangka, kalau kalimat itu terlontar dari mulut kerabat ayahku sendiri. Seseorang yang padahal aku anggap cukup intelek waktu itu…kalimat itu hanya bisa kusimpan dalam hati. Aku ingin berontak, ingin sekali kupatahkan kata-katanya itu dengan kalimat pedas. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya juga.  

Memang aku terlahir dari keluarga miskin, tetapi aku tak patut mendapat kalimat itu. Kalimat itu terlalu hina buat ku. Awalnya kehidupan ekonomi keluarga ku baik-baik saja. Untuk kebutuhan sehari-hari masih bisa tercukupi oleh penghasilan ayahku. Aku pun tanpa beban, bebas bermain dengan teman sebayaku. Sampai pada tahun 1940, aku dan keluarga terpaksa memilih pergi meninggalkan kota kelahiran akibat suasana perang yang memanas waktu itu. Yah.. perang yang berkecamuk, untuk sebuah ambisi, arogansi, ketamakan dan kekuasaan.
Tidak lama setelah kami pindah, tiba-tiba ayahku jatuh sakit. Dengan uang tersisa, sebagai seorang anak sulung, ku periksakan dia pada sebuah klinik terdekat. Remuk dalam hati saat mengetahui ayahku menderita tuberkulosis. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri itu cukup membuat ayahku kritis dan merenggut nyawa ayahku. Sedih bukan kepalang kami rasakan. Tetapi aku tak ingin larut. Sebagai anak terlahir sulung, aku harus bangkit. Tanggung jawab ibu dan adik-adik ada dipundak ku. Meskipun dalam hati aku bimbang. Apa yang bisa diperbuat oleh anak berusia 15 tahun ini.
istimewa

Ku putuskan meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja. Tuhan menjagaku, aku diterima bekerja di sebuah pabrik pelastik sebagai buruh kasar. Hampir setiap hari aku bekerja selama 16 jam. Tak perduli tangan mulai terasa tebal, tak perduli kaki mulai terasa kaku lantaran banyak berdiri. Yang penting kebutuhan keluargaku tercukupi. Bahkan kalau ada sedikit kelebihan aku simpan. Bukan untuk ku, tetepi untuk membiayai pendidikan adik-adik. Dalam bayang gelap, badanku tersandar pada tumpukan jerami. Tiap saat hati ku selalu berbisik... Aku tidak ingin selamanya menjadi buruh.
 Tidak terasa, sepuluh tahun sudah aku bekerja. Tahun 1950-an, aku mencoba memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Sekali lagi tuhan menjaga ku. Aku mendapatkan pinjaman dari salah seorang petinggi dipabrik. Berbekal dana itu aku mencoba membuat usaha bunga plastik. Sebuah usaha yang telah lama aku rencanakan.

Kenapa pelastik..? karena aku mencintai benda ini. Aku tidak menyangka, usaha yang aku rintis menuai sukses. Bunga plastik yang aku buat disukai banyak orang. Tidak hanya disekitar tempat usahaku, tetapi sudah merambah jauh ke negara tetangga. Usahaku ini cukup sukses. Tapi aku tidak ingin berhenti disini, lagi-lagi aku memberanikan diri untuk membuka usaha. Aku nekat membeli tanah  untuk kujadikan tempat usaha dan ternyata berhasil. 
Lagi-lagi aku tidak ingin berhenti sampai disini. Ku mulai merangkak ke dunia properti dan proyek infrastruktur bangunan serta telekomunikasi. Aku hanya mencoba menikmati kerja keras. Tanpa terasa usaha yang kubangun berjalan sukses. Sampai-sampai aku tercengang mendengar sebuah majalah ternama Amerika memfonisku sebagai pengusaha keturunan cina terkaya dunia..Hemm..Aku hanya tersenyum sambil mengingat kalimat kerabat ayahku itu..(Aku Li Ka-Sing, pengusaha hongkong kelahiran 29 Juni 1928 di Chaozho Cina)..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar