Ada sebuah kalimat, yang terkadang kalimat itu
masih ku ingat sampai saat ini. Sebuah kalimat yang kata-katanya sungguh
membuat hatiku luluh akan masa depanku. Kalimat itu berbunyi “..mana mungkin kamu
bisa sukses ..!!!” Sebuah kalimat singkat, namun cukup membuat mental ku guncang. Yah..menyal seorang bocah yang baru meranjak usia remaja. Aku sendiri tidak menyangka, kalau
kalimat itu terlontar dari mulut kerabat ayahku sendiri. Seseorang yang padahal aku anggap cukup
intelek waktu itu…kalimat itu hanya bisa kusimpan dalam hati. Aku ingin berontak, ingin sekali kupatahkan kata-katanya itu dengan kalimat pedas. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya juga.
Memang aku terlahir dari keluarga miskin, tetapi aku
tak patut mendapat kalimat itu. Kalimat itu terlalu hina buat ku. Awalnya kehidupan ekonomi keluarga ku baik-baik
saja. Untuk kebutuhan sehari-hari masih bisa tercukupi oleh penghasilan ayahku. Aku pun
tanpa beban, bebas bermain dengan teman sebayaku. Sampai pada tahun 1940, aku
dan keluarga terpaksa memilih pergi meninggalkan kota kelahiran akibat
suasana perang yang memanas waktu itu. Yah.. perang yang berkecamuk, untuk sebuah ambisi, arogansi, ketamakan dan
kekuasaan.
Tidak lama setelah kami pindah, tiba-tiba ayahku jatuh sakit.
Dengan uang tersisa, sebagai seorang anak sulung, ku periksakan dia pada sebuah klinik terdekat. Remuk dalam hati saat
mengetahui ayahku menderita tuberkulosis. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri
itu cukup membuat ayahku kritis dan merenggut nyawa ayahku. Sedih bukan kepalang kami rasakan. Tetapi aku
tak ingin larut. Sebagai anak terlahir sulung, aku harus bangkit. Tanggung
jawab ibu dan adik-adik ada dipundak ku. Meskipun dalam hati aku bimbang. Apa
yang bisa diperbuat oleh anak berusia 15 tahun ini.
![]() |
istimewa |
Ku putuskan meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja. Tuhan menjagaku, aku diterima bekerja di sebuah pabrik pelastik sebagai buruh kasar. Hampir setiap hari aku bekerja selama 16 jam. Tak perduli tangan mulai terasa tebal, tak perduli kaki mulai terasa kaku lantaran banyak berdiri. Yang penting kebutuhan keluargaku tercukupi. Bahkan kalau ada sedikit kelebihan aku simpan. Bukan untuk ku, tetepi untuk membiayai pendidikan adik-adik. Dalam bayang gelap, badanku tersandar pada tumpukan jerami. Tiap saat hati ku selalu berbisik... Aku tidak ingin selamanya menjadi buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar